BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Dalam
membicarakan hukum islam dan peradilan agama, pusat perhatian akan tertuju pada
kedudukan hukum islam dalam sistem hukum nasional. Namun disini akan dibahas
prihal peradilan agama dalam proses adjudikasi.
Adjudikasi
dapat diartikan sebagai berikut : pertama,
keputusan hakim pengadilan.[1] Kedua, penyelsaian perkara atau sengketa
dipengadilan.[2]
Ketiga, pengambilan keputusan.[3]
Peradilan
Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama adalah peradilan khusus bagi orang-orang yang beragama Islam
dan mengadili perkara-perkara tertentu. (pasal
2)
Dalam
Undang-Undang ini diatur susunan kekuasaan, hokum acara, dan kedudukan hakim
serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan
kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:[4]
-
Pengadilan Agama
-
Pengaddilan
Tinggi Agama. (pasal 3)
Pengadilan
Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
merupakan Pengadilan Tingkat Banding. (pasal
6)
Kekuasaan
dan kewenangan mengadili Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelsaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sadaqah berdasarkan
Hukum Islam. (pasal 49)
Pengadilan
Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan
menyelsaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili
antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. (pasal
51)
Dalam
hal ini akan dibahas tentang putusan dan penetapan dalam Peradilan Agama.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah
1. Apakah
yang di maksud dengan putusan dan penetapan ?
2. Apa
sajakah yang berkaitan dengan putusan dan penetapan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LANDASAN
TEORI
1.
Pengertian
putusan
Putusan
adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu
sengketa atau perselisihan. Arti putusan merupakan produk pengadilan dalam
perkara-perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang sesungguhnya.[5]
Putusan
disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu produk
Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu
“penggugat” dan “tergugat”.[6]
Putusan
adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa.[7]
Putusan
adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan
dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.[8]
2.
Pengertian
Penetapan
Penetapan
disebut al-Isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu Pengadilan
Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdiction voluntaria.[9]
Penetapan
adalah keputusan atas perkara permohonan.[10] atau
volunteer.[11] Penetapan
merupakn salah satu produk Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan
menyelsaikan perkara. Penetapan bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan atau
suatu status terentu bagi diri pemohon.[12] Misalnya
penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah , wali adhal, poligami,
perwalian, itsbat nikah dan sebagainya.
Penetapan
merupakan jurisdiction valuntaria,
karena pada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum.[13].
B.
Uraian
Masalah
1.
Putusan
(vonnis/Al-Qadha)
Dalam
pasal 60 Undang-Undang Nomor Tahun 1989 menerangkan bahwa putusan harus
diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Dengan adanya putusan yang
diucapkan oleh majelis hakim berarti telah mengahiri suatu perkara atu sengketa
para pihak karena ditetapkan hukumnya siapa yang benar dan siapa yang salah.[14]
Ada
tiga macam putusan, yaitu:[15]
1. Putusan
sela, yaitu putusan yang diucapkan sebelum putusan akhir. Misalnya putusan
terhadap tuntutan provisional.
2. Putusan
akhir, yaitu putusan yang diucapkan atau dijatuhkan untuk mengakhiri suatu
sengketa.
3. Putusan
serta-merta, yaitu putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut oleh
salah satu pihak atau para pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu relative lama.[16]
Menurut
sifatnya putusan dapat berupa sebagai berikut:[17]
1. Putusan
declaratoir. Putusan declaratoir adalah putusan yang
menyatakan atau menerangkan keadaan atau status hokum. Misalnya pernyataan
adanya hubungan suami istri dalam perkara perceraian yang perkawinannya tidak
tercatat pada pegawai Pencatat Nikah setempat.
2. Putusan
constitutive. Putusan constitutive adalah putusan yang
meniadakan suatu keadaan hokum dan menimbulkan suatu keadaan hokum yang baru.
Misalnya putusan perceraian, semua terikat dalam perkawinan menjadi
perkawinannya putus karena perkawinan.
3. Putusan
condemnatoir. Putusan condemnatoir adalah putusan yang
bersifat menghukum kepada salah satu pihak. Misalnya menghukum tergugat untuk
menyerahkan tanah dan bangunan untuk dibagi waris.
Putusan
yang dikeluarkan Pengadilan Agama harus memuat hal-hal sebagai berikut.[18]
a. Kepala
Putusan
Putusan
harus memuat kepala putusan yang meliputi “putusan”, kalimat
“Bismillahirrah-manirrahim”, dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
b. Nama
Pengadilan dan jenis perkara, misalnya:
Pengadilan
Agama Jakarta Timur mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dalam
persidangan majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai gugat.[19]
c. Identitas
para pihak
Identitas
para pihak minimal harus mencantumkan nama, alamat, umur, agama, dan dipertegas
dengan setatus para pihak sebagai penggugat atau tergugat.
d. Tentang
duduk perkara
Bagian
ini menggambarkan dengan singkat, jelas, dan kronologis persidangan mulai dari
usaha perdamaian, dalil gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti, saksi, hasil pemeriksaan setempat bila ada,
hasil pemeriksaan jaminan bila ada, dan kesimpulan para pihak.
e. Kaki
putusan
Kaki
putusan berisi tentang hari dan tanggal putusan, nama Majelis Hakim, Panitra
Pengganti, jumlah biaya perkara, dan penanggung biaya perkara.[20]
2.
Penetapan
(Istbat/Beschiking)
Penetapan
bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri
pemohon. Amar putusan dalam penetpan bersifat declaratoir yaitu menetapkan atau menerangkan saja. Penetapan
mengikat pada diri pemohon, ahli warisnya dan untuk memperoleh hak daripadanya.[21]
penetapan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.[22]
Bentuk
dan isi penetapan hampir sama dengan putusan, yang membedakannya adalah sebagai
berikut:[23]
1. Hanya
mengandung satu pihak yang berperkara
2. Tidak
ada kata “berlawanan dengan” seperti pada putusan
3. Tidak
ada kata “tentang duduk perkaranya” seperti pada putusan, melainkan langsung
diuraikan apa permohonan pemohon
4. Amarnya
hanya berbentuk declaratoir atau
konstitutif
5. Menggunakan
kata “menetapkan”
6. Biaya
perkara selalu dibebankan kepada pemohon
C.
Dasar
Hukum
UU
Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal
1
Ayat:
1. Peradilan
agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama islam
2. Pengadilan
adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan
agama
Pasal
2
Peradilan
agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam Undang-Undang.
pasal
4
Ayat:
1. pengadilan
agama berkedudukan di kotamadya atau ibukaota kabupaten, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten
pasal
6
Ayat:
1. pengadilan
agama , yang merupakan pengadilan tingkat pertama
pasal
7
Ayat:
1. pengadilan
agama dibentuk dengan keputusan presiden.
2. Uraian
Putusan dan Penetapan
BAB
III
KESIMPULAN
1. Dalam
Peradilan Agama pada system adjudikasi terdapat tahap-tahap seperti putusan (vonnis/Al-Qadha), yaitu keputusan hakim
pengadilan pada proses persidangan, putusan terdiri dari tiga macam yaitu
putusan sela, putusan akhir, dan putusan serta merta. Putusan diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum Putusan dalam persidangan harus memuat
kepala keputusan, nama pengadilan dan jenis perkara, identitas para pihak,
duduk perkara, pertimbangan hukum, amar putusan, dan penutup.
2. Dalam
Peradilan Agama juga terdapat tahap-tahap seperti penetapan (Itsbat/Becikhing) yaitu keputusan atas
perkara permohonan yang bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu
status tertentu bagi diri pemohon. Penetapan merupakan salah satu produk
Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelsaikan perkara.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
Triwahyudi, peradilan Agama di Indonesia,
Pustaka Belajar,Yogyakarta,2004
Mardani,
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah, (Sinar Grafika:Jakarta, 2009)
Roihan
A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,
(Rajawali Pers:Jakarta, 2005)
Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan peradilan Agama, (Pernada Media Group:Jakarta, 2005)
[3]Ibid
[4] Abdullah Triwahyudi, peradilan Agama di Indonesia,Pustaka Belajar,Yogyakarta,2004,h.54
[5]
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Sinar Grafika:Jakarta, 2009) h. 118
[6]
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan
Agama, (Rajawali Pers:Jakarta, 2005), h. 203
[7]
Abdullah, Op.cit, h. 167
[8]
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan peradilan Agama, (Pernada Media Group:Jakarta, 2005) h. 291
[9]
Roihan,Op.cit, h. 214
[10]
Abdullah, Op.cit, h. 168
[11] mardani, Op.cit
,h. 123
[12] Abdullah, Loc.cit,
h. 167
[13] mardani, Op.cit ,h.123
[14]
Ibid, h. 168
[15]
Ibid
[16]
Mardani, Op.cit, h. 119
[17]
Ibid
[18]
Ibid, h. 170
[19]
Ibid, h. 122
[20]
Ibid, h. 122
[21]
Roihan, Op.cit, h. 215
[22]
Ibid, h. 167
[23]
Ibid, h. 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar