Jumat, 13 April 2012

PERADILAN AGAMA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam membicarakan hukum islam dan peradilan agama, pusat perhatian akan tertuju pada kedudukan hukum islam dalam sistem hukum nasional. Namun disini akan dibahas prihal peradilan agama dalam proses adjudikasi.
Adjudikasi dapat diartikan sebagai berikut : pertama, keputusan hakim pengadilan.[1] Kedua, penyelsaian perkara atau sengketa dipengadilan.[2] Ketiga, pengambilan keputusan.[3]
Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah peradilan khusus bagi orang-orang yang beragama Islam dan mengadili perkara-perkara tertentu. (pasal 2)
Dalam Undang-Undang ini diatur susunan kekuasaan, hokum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:[4]
-    Pengadilan Agama
-    Pengaddilan Tinggi Agama. (pasal 3)
Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. (pasal 6)
Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelsaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sadaqah berdasarkan Hukum Islam. (pasal 49)
Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelsaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya. (pasal 51)
Dalam hal ini akan dibahas tentang putusan dan penetapan dalam Peradilan Agama.  
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1.      Apakah yang di maksud dengan putusan dan penetapan ?
2.      Apa sajakah yang berkaitan dengan putusan dan penetapan ?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    LANDASAN TEORI
1.      Pengertian putusan
Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan. Arti putusan merupakan produk pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang sesungguhnya.[5]
Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”.[6]
Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa.[7]
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan.[8]
2.      Pengertian Penetapan
Penetapan disebut al-Isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdiction voluntaria.[9]
Penetapan adalah keputusan atas perkara permohonan.[10] atau volunteer.[11] Penetapan merupakn salah satu produk Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelsaikan perkara. Penetapan bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status terentu bagi diri pemohon.[12] Misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah , wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah dan sebagainya.
Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria, karena pada penetapan hanya ada pemohon tidak ada lawan hukum.[13].
B.     Uraian Masalah
1.      Putusan (vonnis/Al-Qadha)
Dalam pasal 60 Undang-Undang Nomor Tahun 1989 menerangkan bahwa putusan harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Dengan adanya putusan yang diucapkan oleh majelis hakim berarti telah mengahiri suatu perkara atu sengketa para pihak karena ditetapkan hukumnya siapa yang benar dan siapa yang salah.[14]
Ada tiga macam putusan, yaitu:[15]
1.      Putusan sela, yaitu putusan yang diucapkan sebelum putusan akhir. Misalnya putusan terhadap tuntutan provisional.
2.      Putusan akhir, yaitu putusan yang diucapkan atau dijatuhkan untuk mengakhiri suatu sengketa.
3.      Putusan serta-merta, yaitu putusan pengadilan agama yang pada putusan tersebut oleh salah satu pihak atau para pihak yang berperkara dilakukan upaya hukum baik verzet, banding maupun kasasi dan memakan waktu relative lama.[16]
Menurut sifatnya putusan dapat berupa sebagai berikut:[17]
1.      Putusan declaratoir. Putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan atau menerangkan keadaan atau status hokum. Misalnya pernyataan adanya hubungan suami istri dalam perkara perceraian yang perkawinannya tidak tercatat pada pegawai Pencatat Nikah setempat.
2.      Putusan constitutive. Putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hokum dan menimbulkan suatu keadaan hokum yang baru. Misalnya putusan perceraian, semua terikat dalam perkawinan menjadi perkawinannya putus karena perkawinan.
3.      Putusan condemnatoir. Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak. Misalnya menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah dan bangunan untuk dibagi waris.
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama harus memuat hal-hal sebagai berikut.[18]
a.       Kepala Putusan
Putusan harus memuat kepala putusan yang meliputi “putusan”, kalimat “Bismillahirrah-manirrahim”, dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
b.      Nama Pengadilan dan jenis perkara, misalnya:
Pengadilan Agama Jakarta Timur mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dalam persidangan majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara cerai gugat.[19]
c.       Identitas para pihak
Identitas para pihak minimal harus mencantumkan nama, alamat, umur, agama, dan dipertegas dengan setatus para pihak sebagai penggugat atau tergugat.
d.      Tentang duduk perkara
Bagian ini menggambarkan dengan singkat, jelas, dan kronologis persidangan mulai dari usaha perdamaian, dalil gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti, saksi, hasil pemeriksaan setempat bila ada, hasil pemeriksaan jaminan bila ada, dan kesimpulan para pihak.
e.       Kaki putusan
Kaki putusan berisi tentang hari dan tanggal putusan, nama Majelis Hakim, Panitra Pengganti, jumlah biaya perkara, dan penanggung biaya perkara.[20]

2.      Penetapan (Istbat/Beschiking)
Penetapan bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri pemohon. Amar putusan dalam penetpan bersifat declaratoir yaitu menetapkan atau menerangkan saja. Penetapan mengikat pada diri pemohon, ahli warisnya dan untuk memperoleh hak daripadanya.[21] penetapan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.[22]
Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan putusan, yang membedakannya adalah sebagai berikut:[23]
1.      Hanya mengandung satu pihak yang berperkara
2.      Tidak ada kata “berlawanan dengan” seperti pada putusan
3.      Tidak ada kata “tentang duduk perkaranya” seperti pada putusan, melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon
4.      Amarnya hanya berbentuk declaratoir atau konstitutif
5.      Menggunakan kata “menetapkan”
6.      Biaya perkara selalu dibebankan kepada pemohon

C.    Dasar Hukum
UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 1
Ayat:
1.      Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama islam
2.      Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama
Pasal 2
Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.
pasal 4
Ayat:
1.      pengadilan agama berkedudukan di kotamadya atau ibukaota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten
pasal 6
Ayat:
1.      pengadilan agama , yang merupakan pengadilan tingkat pertama
pasal 7
Ayat:
1.      pengadilan agama dibentuk dengan keputusan presiden.
2.      Uraian Putusan dan Penetapan














BAB III
KESIMPULAN

 

1.      Dalam Peradilan Agama pada system adjudikasi terdapat tahap-tahap seperti putusan (vonnis/Al-Qadha), yaitu keputusan hakim pengadilan pada proses persidangan, putusan terdiri dari tiga macam yaitu putusan sela, putusan akhir, dan putusan serta merta. Putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum Putusan dalam persidangan harus memuat kepala keputusan, nama pengadilan dan jenis perkara, identitas para pihak, duduk perkara, pertimbangan hukum, amar putusan, dan penutup.

2.      Dalam Peradilan Agama juga terdapat tahap-tahap seperti penetapan (Itsbat/Becikhing) yaitu keputusan atas perkara permohonan yang bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri pemohon. Penetapan merupakan salah satu produk Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelsaikan perkara.














DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Triwahyudi, peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Belajar,Yogyakarta,2004
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Sinar Grafika:Jakarta, 2009)
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Rajawali Pers:Jakarta, 2005)
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan peradilan Agama, (Pernada Media Group:Jakarta, 2005)



[3]Ibid
[4]  Abdullah Triwahyudi, peradilan Agama di Indonesia,Pustaka Belajar,Yogyakarta,2004,h.54
[5] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, (Sinar Grafika:Jakarta, 2009) h. 118
[6] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Rajawali Pers:Jakarta, 2005), h. 203
[7] Abdullah, Op.cit, h. 167
[8] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan peradilan Agama, (Pernada Media Group:Jakarta,                 2005) h. 291
[9] Roihan,Op.cit, h. 214
[10] Abdullah, Op.cit, h. 168
[11] mardani, Op.cit ,h. 123
[12] Abdullah, Loc.cit, h. 167
[13] mardani, Op.cit ,h.123
[14] Ibid, h. 168
[15] Ibid
[16] Mardani, Op.cit, h. 119
[17] Ibid
[18] Ibid, h. 170
[19] Ibid, h. 122
[20] Ibid, h. 122
[21] Roihan, Op.cit, h. 215
[22] Ibid, h. 167
[23] Ibid, h. 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar