Sabtu, 07 April 2012

makalah fikih munakahat

BAB I
PENDAHULUAN

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meninggkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya[1]. Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah[2]. Sebagaimana firman Allah SWT.,dalam surat al-Rum ayat 21:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepdanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikin itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidakjelasan keturunan (nasab). Sehingga ketika lahir anak sebagai akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya. Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuannya darinya[3]. Hal ini diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 32:
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Hadist Nabi, dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Anak itu adalah untuk pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukuman rajam”




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nasab
Istilah nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau menetapkan keturanan. Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah.
Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi:
Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang Maha Kkuasa. (Qs. Al-Furqan : 54)[4]
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan sesuatu nikamat yang berasal dari Allah. Hal ini dipahami dari lafaz fa ja’alahu nasabaa.
Islam telah menetapkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia mempunyai hak-hak yang tentu saja menjadi kewajiban orang tua untuk memenuhi hak tersebut. Ada 5 bagian hak anak yaitu: Nasab (garis keturunan), penyusunan, pemeliharaan/pengasuhan, perwakilan dengan berbagai jenisnya yaitu perwalian atas jiwa dan perwalian atas harta serta nafkah[5]
Sedangkan menurut istilah ada beberpa definisi tentang nasab, diantaranya yaitu :
a.       Nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan[6].
b.      Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membinan suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah.
c.       Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertibangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.
d.      Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebagai ibarat dari hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut ketentuan-ketentuan syar’i.

B.     Nasab Dalam Hukum Islam.
Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi, mendapatkan keteguran dari Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi: “

Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang”.

C.    Dasar-dasar Nasab Menurut fiqh Islam
Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena kehamilan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan. Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :
a.        melalui pernikahan yang sah
Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Mereka berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist, yang artinya:
anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu ) dan bagi pezina adalah rajam”.
Surat luqman ayat 14 menjelaskan masa menyusui adalah 2 tahun atau 24 (dua puluh empat) bulan. Dari ini dapat dipahami masa minimal kehamilan adalah enam bulan. Pada masa Khalifah Usman Bin Affan pernah terjadi suatu peristiwa seorang wanita setelah enam bulan menikah, dia melahirkan. Suaminya merasa curiga dan melapor kepada Usman bin Affan. Dan Usaman bin Affan berencana merajamnya, karena diduga si wanita telah melakukan perzinahan dengan laki-laki lain. Masalahnya ini diketahui oleh Ibnu Abbas, kemudian dia berkata : “sesungguhnya jika wanita ini membela dirinya dengan memakai kitab allah (al-Qur’an), niscaya kalian akan terkalahkan”. Kemudian Ibnu Abbas menyampaikan ayat di atas dengan menyimpulkannya bahwa masa minimal kehamilan bagi seorang wanita adalah enam bulan.

b.      Nasab yang Ditetapkan Melalui Pernikahan Fasid
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Menurut kesepakatan ulama fiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak-anak dalam pernikaha fasid tersebut antara lain:  
1.      Suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya tidak hamil.
2.      Hubungan senggama bisa dilaksakan.
3.      Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama hanafiyah).

D.    Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. Dalam hal anak diluar nikah ini, dibagi ke dalam dua kategori :
a.       Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.

b.      Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
1.      Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya
2.      Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
3.      Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya[7].

E.     Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional.
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut[8]
BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa definisi tentang nasab di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum Islam menetapkan nasab sebagai legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan hubungan darah, sebagai akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senngama subhat. Nasab merupakan pengakauan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya, notabenenya anak tersebut berhak mendapatkan hak dan kewajibannya dari ayahnya, selanjutnya mempunyai hak dan kewajiban pula dari keturunan ayahnya. Status anak di luar nikah yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut Hukum Islam disamakan dengan anak zina dan anak li’an. Konsekwensinya adalah tidak ada hubungan nasab anak dengan bapak biologisnya; tidak ada hak dan kewajiban antara anak dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya; bila kebetulan anak itu adalah perempuan, maka bapak biologisnya tidak dapat untuk menjadi wali, sehingga yang dapat menjadi wali anak luar nikah hanya khadi. Dalam hukum perkawinan di Indonesia pengaturan tentang nasab anak di luar nikah, hanya secara implisit di pahami bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, ini berarti anak tersebut tidak mendapatkan hak dan kewajiban dari bapak biologisnya.








DAFTAR PUSTAKA

Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1976)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, PT Syamil Cipta Media Bandung, 2005
AL Abdulan Majid Mahmud Muthlub Wazif Fi Ahkam Al Usroh Al Islamiyah, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Alih Bahasa : Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Era media. Cet-1, Solo 2005
M.Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi’I AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1994)
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti,1993)


[1] Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1976), h. 256-158
[2] Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . h. 114
[3] Yusuf al-Qardhawi, op.cit., h. 304-306
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, PT Syamil Cipta Media Bandung, 2005, hal, 364.
[5], AL Abdulan Majid Mahmud Muthlub Wazif Fi Ahkam Al Usroh Al Islamiyah, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Alih Bahasa : Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Era media. Cet 1, Solo 2005, hal: 520.
[6] M.Abdul Mujieb, Mabruri, Syafi’I AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1994), h. 59
[7] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 195
[8] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti,1993), h. 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar